Keutamaan Berzikir (Mengingat Allah) di Setiap Keadaan
Allah Ta’ala berfirman,
اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Kitab (Al-Qur’an). Dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat mencegah dari perbuatan-perbuatan fahisyah (keji) dan munkar. Dan sungguh, dzikrullah (mengingat Allah) itu lebih besar (keutamaannya dibanding ibadah-ibadah lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. Al-’Ankabut: 45)
(Di antara faedah ilmu pada ayat di atas antara lain) bahwa merutinkan zikir kepada Allah di setiap keadaan adalah amalan yang paling utama. Ia sempurna dengan sendirinya, dan (ibadah) yang lain tidak akan sempurna tanpanya.
At-Tirmidzi rahimahullah telah meriwayatkan dan menshahihkan (hadis),
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُسْرٍ، أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ شَرَائِعَ الإِسْلَامِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَيَّ، فَأَخْبِرْنِي بِشَيْءٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ، قَالَ: «لَا يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ»
“Dari Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya seseorang berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya syariat-syariat Islam sudah banyak bagiku, maka kabarkanlah kepadaku akan sesuatu yang aku (bisa selalu) berpegang dengannya. (Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam) bersabda, ‘(Hendaknya) lisanmu sentiasa basah (rathban) dengan dzikrullah (berdzikir kepada Allah).’”[1] (HR. At-Tirmidzi)
Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam “rathban” (رطبا – basah) adalah isyarat (kiasan) kepada banyaknya zikir, yang ini adalah sebab sempurnanya kehidupan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ
“… Dan tidak sesuatu yang basah dan tidak yang kering …” (QS. Al-An’am: 59)
Dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
لَعَلَّهُ يُخفَّفُ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا
“Semoga ini dapat meringankan (azab) bagi mereka berdua selama belum mengering.”[2]
Karena itu, zikir akan naik dengan sendirinya tanpa butuh untuk dinaikkan. Tidak seperti amal-amal lainnya sebagaimana firman Allah Ta’ala,
إليه يصعد الكلم الطيب والعمل الصالح يرفعه
“… kepada-Nya-lah naik kalimat-kalimat yang baik (al-kalim ath-thayyib). Dan amal saleh dinaikkan-Nya …” (QS. Fathir: 10)
Manusia yang mendapat porsi terbesar dari selawatnya Allah dan para malaikat-Nya terhadap hamba-hamba-Nya, adalah yang paling banyak zikirnya kepada Allah. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا هُوَ ٱلَّذِى يُصَلِّى عَلَيْكُمْ وَمَلَٰٓئِكَتُهُۥ لِيُخْرِجَكُم مِّنَ ٱلظُّلُمَٰتِ إِلَى ٱلنُّورِ ۚ وَكَانَ بِٱلْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا
“Wahai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah dengan zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya pada pagi dan petang hari. Dialah yang berselawat (memberi rahmat) kepadamu dan malaikat-malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya. Dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang mukmin.” (QS. Al-Ahzab: 41-43)
Baca Juga: Hikmah dari Variasi Bacaan Doa dan Dzikir
Al-Baihaqi rahimahullah dalam kitab Ad-Dala-il dan Al-Hakim telah meriwayatkan dari Sulaim bin ‘Amir bahwa ada seorang lelaki yang datang menemui Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu. Kemudian dia berkata,
إني رأيت في منامي أن الملائكة تصلي عليك كلما دخلت وكلما خرجت وكلما قمت وكلما جلست
“Sesungguhnya aku melihat dalam mimpiku, para malaikat berselawat kepadamu setiap engkau masuk, keluar, berdiri, dan duduk.”
قَالَ: وأنتم لو شئتم صلّت عليكم الملائكة ثم قرأ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا (الآيات)
(Abu Umamah) menimpali, “… dan kamu, jika kamu mau, para malaikat (juga bisa) berselawat kepadamu.” Kemudian beliau membaca, “Wahai orang-orang yang beriman berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah dengan zikir yang sebanyak-banyaknya…” (QS. Al-Ahzab: 41-43)[3]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam menjelaskan keutamaan Adz-Dzikr,
أنه يؤمن العبد من الحسرة يوم القيامة. فإن كل مجلس لا يذكر العبد فيه ربه تعالى كان عليه حسرة وترة يوم القيامة.
“Sesungguhnya hal itu mengamankan seorang hamba dari penyesalan (kerugian) di hari kiamat. Karena sesungguhnya setiap majelis yang tidak disebutkan di dalamnya dzikrullah, akan menjadi penyesalan yang terus menerus di hari kiamat.”[4]
(Riwayat) dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu,
“من عجِز منكم عن الليل أن يكابدَه، وبخل بالمال أن ينفقَه، وجَبُنَ عن العدو أن يجاهده؛ فليكثر ذكر الله”.
“Barangsiapa di antara kalian yang lemah (tidak mampu) terhadap malam untuk menghidupkannya (berdiri salat malam dan bertilawah), bakhil terhadap harta untuk menafkahkannya, pengecut terhadap musuh untuk berjihad melawannya, hendaknya ia memperbanyak dzikrullah.” (Hadis ini) diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah dan disahihkan oleh Al-Albani, secara marfu’ diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dan Al-Bazzaar.[5] Terdapat pula keterangan yang semisal, mauquf[6] dari Ibnu Mas’ud dan Abu Darda radhiyallahu ‘anhum.
Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَسِيرُ فِي طَرِيقِ مَكَّةَ فَمَرَّ عَلَى جَبَلٍ يُقَالُ لَهُ جُمْدَانُ، فَقَالَ: «سِيرُوا هَذَا جُمْدَانُ سَبَقَ الْمُفَرِّدُونَ» قَالُوا: وَمَا الْمُفَرِّدُونَ؟ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: «الذَّاكِرُونَ اللهَ كَثِيرًا، وَالذَّاكِرَاتُ»
Dari Abu Hurairah, beliau berkata, “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyusuri jalan kota Makkah. Lalu, beliau melewati suatu gunung (bukit) yang dinamakan, ‘Jumdaan’. Kemudian beliau bersabda, ‘Teruslah berjalan! Ini adalah Jumdan. Para Al-Mufarriduun telah mendahului (menang).’ (Para sahabat) bertanya, ‘Apakah Al-Mufarriduun itu, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘(Yaitu) laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah (berzikir).’”[7]
Baca Juga: Menyibukkan diri dengan Dzikir dan Membaca Al-Qur’an di Hari Jum’at
Tujuan dari segala macam ibadah adalah untuk mengingat Allah.
يَعْنِي هُمْ فِي جَمِيعِ هَذِهِ الْأَحْوَالِ يَذْكُرُونَ اللَّهَ وَيَكُونُ إِسْلَامُهُمْ وَإِيمَانُهُمْ وَقُنُوتُهُمْ وَصِدْقُهُمْ وَصَبْرُهُمْ وَخُشُوعُهُمْ وَصَدَقَتُهُمْ وَصَوْمُهُمْ بِنِيَّةٍ صَادِقَةٍ لِلَّهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى فِي أَكْثَرِ الْمَوَاضِعِ حَيْثُ ذكر الذكر قرنه بالكثرة هاهنا، وفي قوله بعد هذا
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْراً كَثِيراً
[الْأَحْزَابِ: 41]
وَقَالَ مِنْ قَبْلُ:
لِمَنْ كانَ يَرْجُوا اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً [الأحزاب:21]
لِأَنَّ الْإِكْثَارَ مِنَ الْأَفْعَالِ الْبَدَنِيَّةِ غَيْرُ مُمْكِنٍ أَوْ عُسْرٌ فَإِنَّ الْإِنْسَانَ أَكْلُهُ وَشُرْبُهُ وَتَحْصِيلُ مَأْكُولِهِ وَمَشْرُوبِهِ يَمْنَعُهُ مِنْ أَنْ يَشْتَغِلَ دَائِمًا بِالصَّلَاةِ وَلَكِنْ لَا مَانِعَ لَهُ مِنْ أَنْ يَذْكُرَ اللَّهَ تَعَالَى وَهُوَ آكِلٌ وَيَذْكُرَهُ وَهُوَ شَارِبٌ أَوْ مَاشٍ أَوْ بَائِعٌ أَوْ شَارٍ، وَإِلَى هَذَا أَشَارَ بِقَوْلِهِ تَعَالَى:
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِياماً وَقُعُوداً وَعَلى جُنُوبِهِمْ [آلِ عِمْرَانَ: 191]
“Yakni, mereka pada setiap keadaannya (senantiasa) mengingat Allah. Keislaman, keimanan, qunut, jujur, sabar, khusyuk, sedekah, hingga puasa mereka adalah dengan niat yang jujur karena Allah. Ketahuilah, bahwasanya Allah Ta’ala dalam beberapa ayat ketika menyebutkan “zikir”, (Allah) menggandengkannya dengan memperbanyaknya. Misal pada firman-Nya mengenai ini,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْراً كَثِيراً
“Wahai orang-orang yang beriman, berzikirlah kepada Allah dengan zikir yang sebanyak-banyaknya.” (QS. Al-Ahzab: 41).
Dia berfirman juga sebelumnya,
لِمَنْ كانَ يَرْجُوا اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً
“Bagi orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari akhir, dan banyak berzikir kepada Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21)
Karena memperbanyak dari amalan-amalan badani adalah tidak mungkin atau sulit. Karena sesungguhnya manusia itu makannya, minumnya, dan proses mendapat makanan dan minumannya akan menghalanginya untuk bisa terus-menerus salat. Akan tetapi, tidak ada halangan baginya untuk dapat berzikir kepada Allah Ta’ala padahal ia sedang makan. Ia bisa berzikir kepada-Nya ketika ia minum, berjalan, atau berjual beli. Allah Ta’ala mengisyaratkan hal ini pada firman-Nya,
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِياماً وَقُعُوداً وَعَلى جُنُوبِهِمْ
“Orang-orang yang berzikir kepada Allah ketika berdiri, duduk, dan dalam keadaan berbaring.” (QS. Ali Imran: 191)
(Selesai kutipan dari At-Tafsir Al-Kabir.)[8]
Allah Ta’ala berfirman,
إنني أنا الله لا إله إلا أنا فاعبدني وأقم الصلاة لذكري
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, Tiada Ilah (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah aalat untuk mengingat-Ku.” (QS. Thaha: 14)
Wallahu a’lam.
Fadhilah Asy-Syaikh Abdullah bin Shalih Al-’Obailan hafizhahullah ta’ala wa nafa’anaa bi-’ilmih
Baca Juga:
- Bolehkah Orang Junub Berdzikir dari Al Quran?
- Thawaf dan Sa’i Itu Untuk Berdzikir, Bukan Perkataan Selainnya
***
Penerjemah: Muhammad Fadhli, S.T.
Artikel asli: https://muslim.or.id/78371-keutamaan-berdzikir-mengingat-allah-di-setiap-keadaan.html